Oleh
Farid Umpu Jayataruna
ADALAH wajar jika publik terkejut dan mual ketika mendengar kabar mantan terpidana koruptor diangkat menjadi komisaris di salah satu anak perusahaan BUMN.
Pasalnya, dari sekian ratus juta rakyat Indonesia ini apakah tidak ada satu pun yang memenuhi syarat untuk menduduki jabatan tersebut? Atau memang sengaja ingin menambah wabah di tengah masa pandemi yang penuh keprihatinan ini.
Seperti diketahui dan telah banyak dilansir berbagai media, mantan Ketua Komisi XI DPR Izedrik Emir Moeis, pernah terjerat kasus korupsi pada 20 Juli 2012.
Emir Moeis ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena menerima hadiah atau janji sebesar 357.000 dollar AS dari Konsorsium Alstom Power Incorporated (Marubeni Corp., Alstom Power Inc, dan Alstom Power ESI).
Penerimaan hadiah atau janji tersebut terjadi saat Emir Moeis menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI tahun 2000-2003.
Pada 14 April 2014, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Emir Moeis bersalah dan divonis pidana penjara 3 tahun dan denda Rp 150 juta dan subsider 3 bulan penjara.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 4 tahun 6 bulan penjara dan membayar denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan penjara.
Majelis hakim saat itu menilai Emir Moeis terbukti menerima uang dari Konsorsium Alstom Power Inc. (Marubeni Corp., Alstom Power Inc, dan Alstom Power ESI) melalui Presiden Pacific Resources Inc. Pirooz Muhammad Sarafi.
Emir dianggap melanggar Pasal 11 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001.
Penerimaan uang tersebut dilakukan dengan cara membuat perjanjian kerjasama batubara antara Pirooz Muhammad Sarafi dengan PT. Artha Nusantara Utama (PT. ANU) yang dimiliki oleh anak Emir Moeis.
Selanjutnya, setelah divonis, Emir Moeis menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Jawa Barat.
Bahkan selama menjalani masa tahanan, Emir Moeis pernah membuat heboh publik tanah air, lantaran dikabarkan pelesiran ke luar penjara. Sejumlah tanggapan miring menyesaki ruang-ruang publik saat itu.
Nah, dengan rekam jejak tersebut, wajar kiranya jika publik mempertanyakan sekaligus cenderung menolak berbagai argumen tentang alasan penunjukan Emir Moeis sebagai komisaris.
Juga tak bisa di salahkan pula jika sebagian kalangan menilai dan beranggapan bahwa pengangkatan tersebut ada agenda politik tersembunyi, yakni pembusukan terhadap asal partai Emir Moeis yang pernah menjadikannya sebagai wakil rakyat. Selain mendegradasi kepercayaan pemerintahan Jokowi di mata publik. Sebab keputusan pengangkatan itu tak ubahnya memupuk kemualan-kemualan politik, hingga kemualan itu berdampak dan membuncah di tahun 2024 mendatang.
Banyak prediksi dan kalkulasi politik terkait keputusan pengangkatan komisaris tersebut. Bak ujaran pepatah melayu ; rambut boleh sama hitam, dalam hati siapa yang tahu?
Karena umumnya publik menilai seharusnya Emir Moeis tidak memenuhi syarat materiil sebagai calon komisaris karena pernah menyandang predikat mantan narapidana korupsi yang merupakan bukti otentik adanya cacat integritas.
Sehingga hal itu bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Jokowi dan bisa saja berimbas kepada keputusasaan terhadap komitmen pemberantasan korupsi.
Seyogyanya keputusan pengangkatan itu di evaluasi kembali. Karena pertaruhannya adalah citra dan wibawa pemerintah.
Selain itu - semoga bukan hal yang berlebihan untuk dipertimbangkan - apakah pengangkatan itu banyak membawa manfaat atau mudarat bagi perusahaan plat merah tersebut? Jangan sampai citra tergerus oleh nila setitik, sehingga muncul stigma sebagai sarang penyamun baru dan membuat mual di masa pandemi ini. Tabik. (*)