Oleh Ilham Djamhari
Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan memasuki pesta demokrasi terbesar di dunia sebagai negara Kampiun Demokrasi nomer tiga setelah India dan Amerika Serikat. Mulai pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, provinsi hingga DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)-DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Pilkada gubernur, bupati, walikota hingga Pilpres.
Diantara peristiwa politik yang ditunggu tunggu adalah Pilpres yang menjadi perhatian seluruh dunia, terutama negara-negara asing dan negara-negara ekonomi kuat yang menjadi poros ekonomi dan kerjasama baik bilateral dan multilateral.
Yang terpenting dalam menyongsong peristiwa politik di tanah air adalah, "Jangan Sampai Bangsa Terbelah", baik secara ideologi, kepentingan sektarian, golongannisme, kelompok partisan, kepentingan ekonomi dan kaum marginal secara ekonomi yang tidak terakomodir dalam pembangunan demokrasi dan pastisipasi politik nasional.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi presidensial. Secara terminologi, demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos dan kratos. Demos memiliki arti rakyat, sedangkan kratos berarti pemerintahan. Jadi dapat dipahami bahwa makna dari kata demokratis pemerintahan rakyat, adalah kebijakan yang dibuat oleh negara harus melibatkan partisipasi rakyat.
Partisipasi rakyat dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu mengetahui, memikirkan, memusyawarahkan, memutuskan, dan melaksanakan. Berkaitan dengan pemerintahan rakyat, ada trademark terkenal sampai saat ini yaitu pernyataan fenomenal yang dibuat oleh Presiden ke-16 Amerika Serikat Abraham Lincoln.
Lincoln yang menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mengacu kepada pernyataan tersebut, demokrasi diakui negara sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan warga negara yang lebih baik dari sistem lainnya.
Sejak Reformasi, kebebasan warga negara untuk berpolitik dijamin oleh negara melalui perlindungan hukum terhadap warga negara. Terkait langsung dengan kekuasaan, semestinya untuk menertibkan kaum oligarki yang jumlahnya terus bertambah dalam sebuah negara dalam sistem perpolitikan yang terjadi dari rezim ke rezim, dibutuhkan hukum kepastian atau Etika Politik, Act, UU yang sudah disetujui bersama, sebagai payung yang memiliki kekuatan pengendali. Hal ini sudah di sahkan UU pemilu dan lain-lain oleh DPR-RI.
Eksistensi hukum ini sebetulnya untuk menghadapi otoritas negara di satu pihak dan kebebasan warga di pihak lain,yang bisa menengarai hal ini adalah demokrasi konstitusional dengan identitas fundamentalnya adalah demokrasi tanpa hukum merupakan surga bagi oligarki.
Dalam konteks demokrasi, dijelaskan secara terbuka bahwa demokrasi yang baik tidak akan pernah dipisahkan dari terwujudnya negara hukum yang bersifat demokratis. Negara hukum yang demokratis akan selalu terkoneksi dan terintegrasi dengan substansi dasar hukum yaitu konstitusi sesuai Trias Politika.
Memahami nilai-nilai demokrasi dalam proses politik (political procces) memerlukan pembelajaran, yaitu belajar dari negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi yang mungkin lebih baik dibandingkan Indonesia. Upaya mempraktikan budaya demokrasi yang terkadang mengalami kegagalan, diharapkan tidak mengendurkan niat untuk terus berusaha memperbaikinya dari tahun ke tahun ketika pesta demokrasi diselenggarakan.
Suatu hari nanti sebagai idealisme politik kita bisa berharap, Indonesia akan menemukan kebijaksanaan politik. Kebijaksanaan politik (political wisdom) dalam demokrasi dan kekuasaan, sebetulnya menuntut agar setiap justifikasi politik dapat dikalkulasi atas pertimbangan rasional, dan muncul idelisme utamanya adalah para politikus tidak menjadi barbar dalam perilaku politiknya (political behaviour).
Demikian juga sosok politik yang ditampilkan pada panggung politik mestinya sedikit lebih ramah. Bahkan, siapa pun warga negara (demos) bisa aktif dalam partisipasi politik melalui komunikasi politik (political communication) yang memadai dalam sebuah praktik perpolitikan (political action).
Tugas politik demokratis antara lain ialah untuk memoderasi perbedaan lewat deliberasi dialogis menuju konsensus yang tidak selalu bulat utuh. Deliberasi, mengandaikan kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, dan kesediaan untuk saling memahami.
Tanpa gagasan, politik sekadar menjadi etalase untuk menunjukkan citra personal para politikus, tanpa pemahaman silang, politik hanya diliputi permusuhan. Negativitas keduanya tidak mungkin dijadikan pijakan untuk mendinamisasi politik. Demi menghindari kemandekan politik, apalagi pengakhirannya, kita membutuhkan elemen-elemen penggerak yang juga mampu menjaga stabilitas bangsa agar tidak timbul perpecahan dan konflik internal mengarah pada desintegrasi.
Strategi antisipasi Tahapan pemilu telah dimulai sejak 2022 dan intensitas tegangan politik berkecenderungan akan meningkat. Berkaca pemilu lalu, pengelolaan perbedaan kepentingan dan pilihan politik dapat menghindarkan kita dari benturan mengeras antarpemilih dan massa pendukung partai politik.
Memberdayakan modal sosial sebagai bagian langkah antisipatif, akan membuat kita siap menghadapi tantangan mendatang. Pertama, kita perlu menegaskan ulang identitas Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian strategi pemeliharaan kohesi sosial. Politisasi identitas untuk memantik kebencian antarkelompok patut dijadikan sebagai musuh bersama sehingga kekuatan politik tidak tertarik untuk menjadikannya sebagai insentif pemenangan pemilu.
Selayaknya, pemilu menjadi sarana penguat integrasi bangsa. Kedua, keterhubungan warga dengan jaringan-jaringan sosial memperkuat daya di antara mereka dan menumbuhkan kepercayaan silang. Manakala pertautan di antara warga menjadi kuat, mereka memiliki posisi tawar lebih baik untuk mengontrol kekuasaan politik.Sedangkan ketika kepercayaan silang itu tumbuh, tindakan politik berpotensi untuk mendorong secara efektif perubahan sosial.
Ketiga, generasi baru politik dengan sensitivitas etis mereka semestinya memberi warna dominan. Bukan saja karena dari sisi jumlah kalangan muda akan menjadi yang mayoritas pada pemilu mendatang, melainkan juga karena mereka dibesarkan dan tumbuh di tengah alam demokrasi. Orientasi etis mereka kiranya dapat memberi kontribusi signifikan bagi suatu pemilu yang bebas, jujur dan adil.
Keempat, penting bagi segenap warga untuk menemukan isu-isu bersama yang dapat dieksekusi sebagai agenda kekuasaan. Dengan kohesivitas dan posisi tawar lebih baik warga, tidak ada dasar bagi elite untuk mengabaikan suara rakyat. Perluasan akses terhadap public goods dapat dijadikan prioritas, selain juga isu-isu lain yang menopang langkah politik bagi perwujudan kebaikan bersama.
Orang tidak perlu terobsesi dengan stabilisasi tatanan sehingga mengorbankan dinamika politik. Tidak pula patut bagi mereka untuk memanfaatkan cara-cara culas dan mendegradasi etika politik sekadar demi kemenangan elektoral. Dengan sejumlah modal di atas, kita memiliki cukup alasan untuk optimisme dalam menyambut tantangan tahun politik 2023 dan Pilpres 2024.
Kesadaran dan orientasi tentang waktu membantu kita untuk memahami persoalan dinamika bangsa, terutama dalam bingkai kausalitas. Namun, pada akhirnya, dibutuhkan strategi tepat untuk menghadapi tantangan politik global. Kita dapat menyusun langkah antisipatif yang meskipun tidak dapat menjawab seluruh pertanyaan tentang apakah negara ini makin maju dan makmur karena demokrasi atau mundur menjadi negara totaliter ala Orde Baru Soeharto kembali dan model rezim militer Myanmar dibawah pimpinan Jendral Mint Aung Hlaing, yang membuat kita mampu tegak berdiri menyongsong arah masa depan kita bahwa kita negara besar kampiun demokrasi dunia nomer tiga. God bless you for Indonesian peoples. (*)
Redaktur Senior Haluanlampung