Oleh Khaidir Asmuni
Kendati unggul di sejumlah survei di urutan teratas, posisi Ganjar belum aman. Malahan dalam posisi seperti ini Ganjar justru bisa terombang-ambing oleh kondisi politik yang berkembang situasional. Sebab, yang bakal mengusung capres tetap parpol.
Pergerakan parpol saat ini belum menunjukkan adanya "niat" dari petingginya untuk mencalonkan tokoh-tokoh yang memiliki angka survei yang tinggi.
Seperti Partai Golkar, Airlangga malah justru makin intens disosialisasikan kadernya. PKB juga. Muhaimin Iskandar malah sudah menjadi Panglima Santri dengan baliho besar-besar. Baleho Puan Maharani dengan berbagai tema juga menyebar. Gerindra bahkan sudah memperkuat Prabowo untuk nyapres.
Melihat perilaku parpol ini, survei survei tersebut untuk mempengaruhi siapa? Apakah mengaruhi parpol agar mencalonkan Ganjar atau untuk memberitahu masyarakat bahwa Ganjar adalah calon yang paling kuat? Atau ingin kembali ke persepsi tahun 2014 lalu. Di mana Megawati memilih Jokowi untuk dicalonkan sebagai capres. Dan berharap ini akan terulang ke Ganjar.
Atau parpol-parpol sekarang sedang memainkan bidak, yang saling intip mengenai figur figur capres yang akan mereka usung. Sehingga survei-survei tersebut memiliki peran di dalam penentuan siapa capres mereka?
Tapi mengapa tidak ada parpol yang berani langsung menggumumkan untuk mengusung Ganjar? Nasdem, misalnya, yang biasanya selalu pertama kali dalam mengusung capres "jadi" (seperti saat mengusung Jokowi), kenapa tidak mengumumkan Ganjar sebagai capres mereka?
Kalau memang partai politik masih saling tunggu dan memainkan bidak-bidak nya lantas ke arah mana maksud dari survei survei itu?
Atau karena saat ini masa pandemi? Atau survey itu hanya menggiring. Atau masih menunggu koalisi. Atau apa?
Sebaiknya Lembaga Survei Ubah Paradigma
Munculnya nama Ganjar sedikit ahistoris dari apa yang terjadi di PDIP. Kalau mundur ke belakang di bulan Mei tepatnya 22 Mei 2021, Puan Maharani mengungkap kriteria calon presiden (capres) yang bakal jadi jagoan partainya. Dia menyebut sosok pemimpin bukan hanya yang muncul di media sosial, tapi justru di lapangan.
Pernyataan Puan diperkuat Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu (Bapilu) Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul yang menyebut ada tiga kriteria capres yang bakal diusung partainya. Salah satunya soal track record alias rekam jejaknya.
Pernyataan petinggi PDIP ini menunjukkan bahwa adanya keinginan yang kuat dari partai banteng tersebut untuk menonjolkan sisi kinerja, sisi track record, sisi prestasi yang telah diraih sebagai alasan untuk dipilih sebagai capres.
Jadi metodenya induktif. Dengan menunjukkan kelebihan-kelebihan baru bisa dijadikan capres.
Metode ini tentu saja berbeda apabila dilakukan secara deduktif yaitu nama calon dulu baru pada diri calon tersebut dicari track record, prestasi dan kinerjanya apa?
Cara induktif dan deduktif ini kalau dibandingkan secara objektif akan lebih unggul metode yang dilakukan secara induktif. Karena calon yang akan diusung itu benar-benar dari hasil-hasil prestasi yang diraih.
Dalam catatan media massa tidak hanya PDIP yang menonjolkan kinerja, track record atau prestasi. Di Golkar pun Airlangga Hartarto tengah berusaha untuk memiliki prestasi yang baik di pemerintahan karena itu salah satu track recordnya untuk layak menjadi capres dan memimpin bangsa ini.
Juga dengan tokoh lain. Seperti halnya Prabowo Subianto, Muhaimin Iskandar, Erick Thohir , Sri Mulyani dan lain-lainnya.
Melihat begitu pentingnya faktor track record ini dapatkah lembaga survei mengubah paradigma survei tersebut?
Dengan mengkaji satu persatu calon yang dimunculkan tentang apa kira-kira prestasi yang telah diraih oleh masing-masing mereka.
Pendidikan Politik
Bangsa ini begitu keras melakukan pendidikan politik. Isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam pemilu 2024 saja harus dicegah. Nilai-nilai kebangsaan harus diutamakan.
Melakukan pendidikan politik tidak terlepas dari memberikan mindset yang baik kepada masyarakat. Sebab, pola pikir ini akan membentuk masyarakat lebih rasional di dalam memilih Presiden.
Membentuk pola pikir ini bisa dimulai dengan menonjolkan track record atau kinerja atau prestasi dari tokoh-tokoh yang akan diusung menjadi capres.
Sehingga pertanyaannya. Kenapa Anda memilih Ganjar? Memilih Prabowo? Memilih Puan. Memilih Anies? Atau memilih Erick Thohir ? Sebagai Presiden RI.
Dengan pertanyaan ini diharapkan kita terhindar dari istilah _good or not is my choice_. Atau _right or wrong is my choice_. Melainkan kita memang memiliki alasan rasional untuk memilih seorang tokoh.