Oleh Farid Umpu Jayataruna
Hanya kerbau yang tidak mau diajak kerja serba cepat. Berjalannya pelan dan begitu pula ketika makan, tidak pernah tergesa-gesa. Bahkan sekalipun sudah dicambuk, jika waktunya kencing, kerbau juga akan berhenti buang kotoran.
Sisi lain, kerbau juga sangat dikenal dengan watak "Dicambuk dulu baru bekerja". Maka muncul pertanyaan; Apakah kerbau itu bodoh? Menurut hikayatnya, kerbau selain bodoh mudah pula dibodohi. Maka sering kita mendengar kalimat "Jangan bodoh seperti kerbau". Sebab siapapun yang bodoh biasanya semakin mudah dibodohi, contoh konkritnya adalah kerbau.
Pun halnya dengan perangai kita manusia, jika naluri kepekaan terhadap sesuatu tidak langsung menunjukan reaksi tupoksinya, bahkan alih-alih menunggu dicambuk dulu baru bekerja, maka cukuplah kita disebut berwatak seperti kerbau.
Jadi, jika manusia tidak dapat memposisikan tupoksinya bahkan harus dicambuk terlebih dahulu baru bekerja, maka tidaklah heran jika pamor kerbau melekat pada dirinya. Serupa tapi tak sama.
Ya, termasuk saya, yang kemarin baru diomelin orang tua untuk meratakan jalan di depan halaman rumah, lantaran dapat laporan dari sang cucu bahwa jalan halaman rumah becek akibat dilewati banyak ojek.
Berbagai saran dan masukan orang tua via telepon hanya membuat saya cengar-cengir kuda. Padahal kalau dipikir saya sama seperti kerbau adanya, karena tidak mempan disindir.
Barulah ketika orang tua mau datang melihat apakah benar jalan halaman rumah sudah diratakan, saya buru-buru bekerja merapihkan jalan halaman rumah.
Dan ternyata, saya kerbau juga! (*)