Oleh Farid Umpu Jayataruna
Hari yang terik tampaknya tak mengurangi kegayengan obrolan antara Mat Kadrun dan Mat Cebi.
Sembari ngopi dan leyeh-leyeh di gubuk tengah sawah, tema obrolan mereka tergolong tingkat tinggi.
Betapa tidak, kedua pemuda kampung membicarakan rencana kedatangan presiden ke kampung halaman mereka. Padahal kalau di pikir, apalah urusan mereka membicarakan itu.
Angin semilir siang itu menambah nuansa leyeh lebih santai dari biasanya.
"Drun, menurutku kedatangan Presiden kali ini rasanya bisa menjawab kegalauan-kegalauan yang ada!" ucap Mat Cebi.
"Kegalauan gimana maksudmu, Ceb?" kata Mat Kadrun balik bertanya.
"Misalnya soal gaji ke-13, langsung saja minta bayarin sama Presiden!" ucap Mat Cebi enteng.
"Ngawur! Kok semua urusan minta bayarin Presiden!" jawab Mat Kadrun sekenanya, sambil tangannya mengangkat cangkir kopi dan menyeruput, lalu setelah ia meletakan cangkir kopi, Mat Kadrun kembali menimpali lagi dan berkata,"Presiden apa iya tahu soal gaji ribuan pegawai itu belum dibayar? Kan belum tentu tahu!"
"Justru itu! Kalau Presiden naik pesawat, kan bisa ke bandara rame-rame!" tukas Mat Cebi.
"Trus menimbulkan kerumunan lagi gitu, iya? Tambah ngawur lagi!" sergah Mat Kadrun sembari menghisap rokok kreteknya dan menghembuskan asapnya ke udara.
Sejenak terdiam, Mat Cebi kembali mengajukan pertanyaan,"Bagaimana kalau mempersiapkan ring tinju saja?"
Sambil mengernyitkan dahi Mat Kadrun menjawab sambil memandang Mat Cebi,"Ring tinju buat apa?" tanyanya.
"Siapa tahu ada yang menerima tantangan!" ucap Mat Cebi. "Itu lho, yang ngomong nantang-nantang dan bawa nama nenek moyang kemarin itu!" terang Mat Cebi.
"Ah, kayak begitu nggak perlu dibesar-besarkanlah! Itu menunjukan bahwa dia orang kecil! Belum orang besar! Orang besar mana mau bicara yang kecil-kecil begitu!" tukas Mat Kadrun, yang disambut anggukan kepala berulang-ulang oleh Mat Cebi.
"Yuklah! Sebentar lagi azan, kita pulang dulu!" ajak Mat Kadrun.
"Okelah, lamon goheno!" jawab Mat Cebi. (*)