Oleh Khaidir Asmuni
Mekanisme pencapresan di Golkar memang unik. Penjaringan melalui konvensi yang pernah dilontarkan Akbar Tanjung di masa lalu tampaknya tidak realistis untuk dijalankan karena high cost dan masa pandemi. Di sisi lain keinginan dari para petinggi pun kelihatan tidak meminati cara itu.
Terlepas dari itu, dinamika yang terjadi di Golkar ----meskipun tidak secara tegas diungkapkan--- tampak sekali bahwa posisi Airlangga sangat kuat karena pengurus-pengurus di daerah itu sudah mencetuskan akan pencapresannya di 2024.
Politik "ngono yo ngono nek ojo ngono" yang dimainkan Airlangga memang berjalan on track sesuai hitungan politik. Melaju tanpa harus ribut ribut.
Kendati begitu, tampak sekali bahwa saat ini Golkar dan Airlangga masih "setengah kopling". Meskipun gas bisa diinjak penuh namun kopling tidak dilepas secara full karena ada beberapa hal yang harus dihadapi.
Kalau kita asumsikan hal yang harus dihadapi Airlangga jika melepas pedal kopling secara penuh adalah sinyal sikap penentu kebijakan (Baca: Jokowi).
Publik mencatat melaju nya Airlangga di Golkar sendiri tidak terlepas dari peran penentu kebijakan sehingga dia harus berhati-hati. Apalagi menimbang posisinya sebagai Menko Perekonomian yang merupakan bagian dari pemerintahan. Itulah sebabnya, secara etika politik, langkah Airlangga untuk tidak melepas kopling penuh, memang sudah pas. Tidak mungkin dia menyatakan pencalonannya secara tegas karena masih menjalankan pemerintahan.
Hal lain kenapa kopling tidak dilepas penuh adalah situasi pandemi yang saat ini menimpa masyarakat. Sangat tidak etis ketika masyarakat sedang bersusah payah menghadapi pandemi, namun terjadi pencalonan yang jauh dari pikiran masyarakat saat ini.
Airlangga bahkan memanfaatkan tugas tugas Menkonya untuk memulihkan perekonomian di masyarakat. Sebab memang menuntut keseriusan. Kalau pencapresannya terlalu diinjak gas full dan kopling dilepas penuh tentu akan menyebabkan persepsi yang kurang baik di depan masyarakat.
Sejauh ini, Airlangga masih memainkan perannya sebagai Menko Perekonomian yang berprestasi. Bahkan saat BPS mengungkap perekonomian tumbuh 7% itu tidak lepas dari apa yang dilakukan Airlangga sebagai Menko Perekonomian. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh Di tengah pandemi.
Beberapa kebijakan pun yang dilakukan Airlangga memberikan gambaran keuntungan politis tersendiri. Selain bisa masuk ke berbagai kantong-kantong potensial untuk mensosialisasikan diri, Airlangga juga bisa menjalankan program perekonomiannya. Dua keuntungan yang dia bisa raih sekaligus.
Tapi. Sekali lagi tapi. Dalam kondisi saat ini justru Airlangga menghadapi tantangan sendiri dalam dirinya.
Pertama, kharakter santunnya yang tinggi rentan berubah jadi pakewuh. Publik tidak pernah melihat Airlangga marah sepertinya seperti halnya publik melihat Ganjar Pranowo, marah di jembatan timbang ketika terjadi pelanggaran yang merugikan masyarakat.
Kesantunan Airlangga sangat dirasakan para kader di daerah. Bahkan ada yang menyebut Airlangga tak mengenal politik dua kaki.
Sikap pakewuh, jika kita menyitir pendapat Clifford
Geertz merupakan perilaku kesopanan dari masyarakat Jawa. Sikap ini tidak melakukan penolakan seperti mengatakan “tidak” pada perintah atau permintaan. Persoalannya, dalam perkembangan media sosial dan internet saat ini harus dibedakan antara sikap santun. dengan sikap pakewuh. Karena nanti yang terjadi adalah ketidaktegasan.
Kedua, pilih pilih tebu yang berubah jadi keragu raguan. Boleh disebut bahwa dalam pilpres 2024 Partai Golkar berada di atas angin. Karena selain hanya tinggal mencari beberapa persen untuk melengkapi pemenuhan kuota 20% + 1, Golkar bisa menentukan sikap terhadap Siapa calon cawapres nya. Hanya kalau melihat situasi saat ini dengan begitu banyaknya peluang yang menjadi cawapres akan terjadi kondisi pilih-pilih tebu. Kalau pilih-pilih tebu, dalam waktu yang tepat dan yang dipilihpun tepat akan menghasilkan sikap yang efektif dan taktis. Sebab dengan waktu 2,5 tahun lagi persiapan akan dilakukan untuk melakukan sosialisasi ke bawah.
Namun pilih-pilih tebu ini bisa berubah justru menjadi sikap keragu-raguan karena begitu banyak calon yang berujung kebingungan.
Keragu raguan justeru membuat bidak Golkar tidak di posisi capres, melainkan cawapres. Kecuali jika ini memang yang dipilih.
Yang lebih baik adalah Golkar membuat mekanisme penjaringan cawapres dengan kriteria-kriteria tertentu. Atau mekanisme jemput bola dengan melihat hasil survei tokoh yang layak mendampingi Airlangga.
Ketiga, peluang elektabilitas yang terbuka lebar berubah akibat dinamika politik (badai politik) yang terjadi. Seperti kita ketahui, hal hal yang membuat elektabilitas Golkar naik adalah soliditas di bawah pimpinan Airlangga. Lalu konsisten bergerak melalui media-media luar ruang dan mendongkrak memori kolektif masyarakat tentang Golkar, di mana pada saat yang sama, partai lain belum banyak bergerak.
Potensi ini akan pudar akibat dinamika dan polarisasi. (*)