Oleh Khaidir Asmuni
Menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju yang duduk paling depan itu banyak menerpa angin. Apalagi jika mereka berdiri, angin akan semakin kencang. Jadi badai. Menerpa. Sementara mereka juga harus menahkodai Departemen atau Kementerian yang mereka pimpin.
Risiko duduk di depan bukanlah takdir melainkan sebuah pilihan. Contohnya saja di Kementerian Marinves, di mana Indonesia sangat membutuhkan investasi yang besar untuk pembangunan. LBP berkali kali tetap dipercaya Presiden. Karena apa? Karena LBP juga berani berkali kali duduk di depan. Saat badai pandemi datang, dia tetap di depan. Kalo mau nyaman mah, dia lari aja. Tapi tidak. Dia malah duduk di depan. Berdiri lagi!
Juga di Kementerian BUMN. Selain harus menahkodai kapal, terpaan badai menciptakan ombak besar yang harus dilalui.
Maklum, di Kementerian BUMN tengah melakukan kerja besar: Transformasi.
BUMN itu sepertiga dari perekonomian Indonesia jadi mentransformasi BUMN itu tidak mudah. Perlu fokus, perlu tim yang bagus dan Alhamdulillah semuanya berhasil baik. Pada tahun 2020 90% BUMN itu terdampak juga swasta. Namun sang Nahkoda Chief ET istiqomah. Dengan efisiensi di sana sini, BUMN masih bisa menyumbangkan Rp375 triliun kepada negara berupa pajak, dividen dan lain lain.
Upaya transformasi membuat BUMN makin profesional, transparan, dan akuntabel. Berhasil melakukan restrukturisasi dari 108 BUMN menjadi 41 BUMN dan membuat klasterisasi BUMN berdasarkan inti bisnis perusahaan, dari 27 klaster menjadi 12 klaster demi efektifitas serta kemajuan BUMN. Terobosan chief ET lainnya membubarkan BUMN yang kondisinya sudah tidak beroperasi tetapi menjadi beban keuangan negara.
Melakukan transformasi tentu saja tidak bisa dilakukan sambil duduk. Melainkan berdiri bahkan kadang harus bertolak pinggang. Karena yang dihadapi tidak saja sistem lama yang telah ada puluhan tahun melainkan juga menciptakan sistem baru yang dapat menyehatkan perusahaan-perusahaan di BUMN tersebut.
Salah satu yang menarik di era media sosial ini adalah munculnya para pengamat menteri menteri yang duduk di depan. Anggap saja dalam masalah bisnis PCR yang merebak saat ini. Ada kesan pengamatan terhadap LBP dan Chief ET makin gencar.
Dalihya prinsip good governance, transparansi, keadilan, dan partisipasi publik! Beughh! Tapi masalahnya makin melebar. Bergeser ke masalah pupuklah. Masalah ini dan itulah. Sehingga bukan lagi persoalan PCR yang yang dibahas. Sebetulnya what'is the point?
Hal hal tersebut diungkapkan justru pada saat badai pandemi belum berakhir. Badai yang fluktuatif ini masih membutuhkan energi yang besar dan orang-orang yang berani duduk di depan untuk mengatasinya.
Mengajak berkelahi dalam suasana badai yang masih menerpa bukanlah perbuatan yang bijaksana. Apapun dalihnya setiap orang akan melakukan hal terbaik untuk menyelamatkan masyarakat. Jauh dari kepentingan pribadi.
Berpikir dan memutuskan sesuatu di tengah terpaan badai membutuhkan sikap saling memahami tentang apa yang dihadapi bangsa ini.
Bukan menunjukkan keangkuhan dengan memanfaatkan celah atas nama dan dalih good governance, transparansi, keadilan, dan partisipasi publik. Mengkritik buta dengan kacamata kuda yang akan menabrak sana-sini, yang belum tentu kritik tersebut mengandung kebenaran.
Kenapa disebut belum tentu mengandung kebenaran? Karena kita sama-sama berada di tengah badai. Tidak satupun dari kita yang bisa melihat jernih di tengah terpaan ombak dan angin kencang!!!