KOPI DAN REKAPITULASI

375 views

 

Oleh Farid Umpu Jayataruna

 

Bersiasatlah mengaduk kopi agar nilai perubahan bangun pelan-pelan melalui tenggorokan. Juga tak perlu lagi bertanya tentang waktu terbitnya matahari, apalagi sembari melirik arloji. Karena tapak kaki hanya butuh pasti untuk berjalan. Sedangkan tangan mempererat gandengan, seraya memastikan bahwa tidak ada gemetar dalam perjalanan. Seperti rabaan lidah penikmat kopi: sepanas dan sekental apa racikannya?

Namun bukan berarti itu sebagai gaya taktik pembenaran dalam menyeruput kopi. Tidak. Sama sekali tidak. Hanya sebagai sikap yang meluruskan kultur ceracau. Kendati masih saja ada kultur 'marahan' yang masih terpelihara karena menyangkut aspek pengetahuan dan kejiwaan, sehingga butuh pemahaman tentang lapang dada yang 'mungkin' saja efek dari keterbelakangan bacaan atau hubungan sosial yang kurang. Setidaknya memainkan jam untuk terbang.

Lalu, dalam konteks racikan kopi tadi sebenarnya tak melulu mesti dijabarkan. Apalagi tentang seberapa panas suhu airnya. Karena kebulan asap dari secangkir kopi panas yang disediakan dapat diterka sejauh mana aroma dan respon cecapannya: bubuk pekat atau memang ampas bawaan yang diulang? 

Kemungkinan lagi bisa jadi pengaruh efek saat ini. Dimana berita mati rasa menjadi kontradiktif sekali dengan aspek kehidupan sehari-hari. Kendati begitu, prediksi dan kalkulasi terkait racikan kopi tak ada yang pasti. Juga tentang filosofi yang makin banyak diutarakan setiap orang. Semua masih mungkin untuk menghadirkan formula baru tentang kopi. Terutama dalam mengopeni pikiran negarawan yang patut dijadikan teladan, atau pikiran galau dalam menghadapi matematika anak sekolahan.

Dan ternyata, spekulasi teman ngopi tak hanya kalkulasi. Karena hidup hanya sebatas menunggu rekapitulasi. Serius! (*)

 

 

author