MATAHARI baru saja tampak. Embun pun belum kering dan masih lirbun di daun.
Pagi itu Mat Cebi memutuskan untuk menemui sobatnya, sekaligus seteru pemikirannya, yakni Mat Kadruni.
Jarak rumah keduanya tak terlampau jauh, hanya diselingi dua warung dan delapan rumah.
Usai mandi dan berpakaian, Mat Cebi pamit kepada orang rumahnya. "Kalau misalnya ada yang datang, kasih tau saja aku di rumah Kadruni," katanya, sembari mengambil bungkusan rokok dan korek api yang tergeletak di meja.
Singkat cerita, sampailah dia di rumah sobatnya itu. "Assalamualaikum...," uluk salamnya kepada penghuni rumah.
Tak lama keluarlah sosok pria bercelana pendek berkaos oblong dan menjawab salam sang tamu,"Wa'alaikumsalam...Wih Ceb, tumben pagi-pagi, bawa bahan apaan, nih?!"
"Banyak! Bikin kopi, Drun!" jawab Mat Cebi, sembari menuju amben tempat biasa mereka duduk dan ngobrol di rumah itu, yang letaknya persis sebelah kiri teras.
Setelah bersalaman khas mereka dan mempersilahkan duduk, pemilik rumah langsung masuk ke dalam. Tak lama berselang, ia muncul kembali sembari membawa 2 gelas cangkir yang tertutup, lengkap dengan tatakannya.
Ditaruh bawaannya itu sambil mengatur posisi duduk bersila, berhadapan dengan tamunya.
"Minum, Ceb," tawarnya.
"Oke, terimakasih," jawab Mat Cebi, sembari mengangkat cangkir kopi dan meletakan penutupnya, ia langsung menyeruput kopi hidangan si empunya rumah.
Setelah cangkir diletakan kembali, Mat Cebi langsung membuka percakapan. "Kau sudah baca semalam tentang buronan yang katanya sudah masuk red notice itu?"
"Oh, itu. Sudah. Tapi aneh ya, kok namanya gak ada dan tidak terdaftar di situs interpol," tukas Mat Kadruni.
"Itulah, dusta mana lagi yang mau dialihkan," timpal Mat Cebi dan langsung keduanya berbalas senyum.
"Makin ke sini semakin lucu aja, ya. Seperti kita-kita dianggap begok semua. Apalagi aku baca ada pernyataan bahwa itu harus berdasarkan permintaan. Permintaan tambahan kali ya," ucap Mat Kadruni, yang kontan terdengar gelak tawa keduanya.
"Ini sama kayak supermi campur permen, berat, men!" timpal Mat Cebi, yang lagi-lagi pecah tawa keduanya, sampai menarik perhatian orang-orang yang lewat, karena suara keduanya mengalahkan knalpot protolan.
"Ada yang parah lagi, mantan koruptor dijadikan komisaris. Jargon bersih dan berwibawa berarti sudah ganti," ucap Mat Kadruni.
"Diganti bagaimana maksudmu, Drun?" tanya Mat Cebi, sembari mengernyitkan dahi.
"Ya iya diganti berarti jargonnya, tidak bersih ya tidak apa-apa," ujar Mat Kadruni.
"Hahaha! Kau ini...Kadang kau ini waras, kadang agak setengah," kata Mat Cebi.
"Tapi banyakan setengah, karena setengah kan berarti separuh. Kalau kita berdua ngobrol berarti separuh-separuh. Separuh dari iman dan separuh lagi cari aman," kata Mat Kadruni, sontak keduanya ngakak kembali.
"Banyak pula yang merasa miris lihat baliho-baliho yang terpasang di bilboard-bilboard ruas jalan raya itu. Masa pandemi begini masih saja ada yang memikirkan mau mencari simpati. Apa mereka nggak tau jumlah orang yang mati sejak pandemi ini? Bikin muak malah iya!" tukas Mat Cebi.
"Biarkan saja! Jadi kita bisa mengerti dan paham, mana yang ngomong sekedar basa-basi soal pandemi ini, mana yang yang serius menanggulangi," kata Mat Kadruni.
"Iya, sih. Tapi kan bikin kita muak. Apalagi nggak ada manfaatnya juga mereka pasang-pasang begituan. Coba duit untuk buat dan pasang baliho itu diberikan kepada mereka yang lagi kesusahan, tentu lebih manfaat dan nggak mubazir," timpal Mat Cebi, sembari mematikan nyala rokok dan menekannya berkali-kali ke asbak.
"Ya begitulah kenyataannya. Hidup ini kan seperti tanaman, apa yang mereka tanam, itulah nanti yang akan tumbuh," imbuh Mat Kadruni.
"Nih lihat, banyak sekali komentar miring di medsos mengomentari kelakuan tokoh-tokoh itu," ujar Mat Cebi, seraya menunjukkan layar smartphone miliknya.
"Iya, aku juga lihat, baik di facebook, instagram dan twitter. Apalagi di grup-grup whatsapp. Umumnya komentar nitizen ngalah-ngalahin cabe rawit!" cetus Mat Kadruni.
"Kondisi pandemi ini yang begitu-begitu mestinya mereka benahi, koreksi dan evaluasi. Karna secara psikis akan melekat sekali kemuakan ini," ujar Mat Cebi, seraya menyudahi obrolan dan berpamitan untuk pulang.
"Besok kita lanjutkan lagilah, sekarang aku pulang dulu ya," kata Mat Cebi.
"Okelah! Oh iya, kau mau pisang kepok nggak?" tawar Mat Kadruni kepada sobatnya, yang masih belum melangkahkan kaki melewati pagar rumahnya.
"Buat ngobrol besok-besok saja di sini," jawabnya.
"Okelah kalau begitu."
"Aku pamit ya, Assalamualaikum," ucap Mat Cebi yang langsung berjalan meninggalkan rumah sobatnya itu, dan spontan dijawab,"Wa'alaikumsalam...".
Bersambung